Read Me on Karyakarsa!

Jadi, Gais, ceritanya tuh aku mulai nulis lagi.

Sebenernya aku masih nulis fiksi terus sih, cuma sekitar 5 tahun belakangan ini aku lebih aktif di Asianfanfics. Iya, kelakukan lama emang nggak bisa berubah, kebiasaan nulis fanfic bikin aku nggak bisa move on dari yang berbau Korea Selatan. Jadinya kalau disuruh nulis yang lokal-lokalan gitu rasanya hambar, kayak sayur sop yang nggak dikasih garam.

Terus, berhubung di Asianfanfics itu kan pakai bahasa Inggris, jadi sekarang nulis yang bahasa Indonesia juga agak kagok. Bukannya sombong sih, tapi memang faktanya begitu, ihihihik…

Dulu awalnya saat pertama kali mulai nulis di sana itu niatnya buat ngasah skill aja. Menantang diri sendiri gitu, bisa nggak sih coba nulis pakai bahasa Inggris gitu. Dengan grammar ala kadarnya, bolak balik edit sana-sini, terus bolak-balik hiatus juga karena hamil, dll, akhirnya ya ada lah sekitar 4 fanfics ditulis di situ. Akhirnya ya ketagihan aja, ngeliat antusiasmenya juga lumayan.

Terus belakangan ini dikenalin sama Karyakarsa, di mana aku bisa nulis di sana, nuangin ide dan segala macamnya sambil cari cuan juga, hehe. Jadi ya begitu lah, gais, I mean, kalau memang segmennya ada ya kenapa enggak aku titipin tulisan aku di situ juga yekan.

Nah, jadilah!

Kamu bisa klik di sini buat mampir ke kanal aku di Karyakarsa yaa. Aku bakal taruh fiksi terbaru aku di situ, yang belum pernah aku post di manapun di blog/situs berbahasa Indonesia. Tulisanku juga masih seputar Korean Story, he eh, again.

Kenapa nggak posting fanfic di situ?

Jawabannya, Temans, karena aku termasuk orang yang berprinsip bahwa fanfiction itu nggak bisa di-monetize. Dan berhubung Karyakarsa ini situs berbayar, jadi aku ganti nama-nama karakternya mirip-mirip gitu yaa.

Oke deh, jadi buat yang penasaran, silakan langsung mampir aja. Baca dan dukung karya aku yaa,,

Btw, happy Ramadhan Mubarak, you the most lovely Guys ❤

xoxo,

Dee

I’m A Covid-19 Survivor

Yes, seperti judulnya. Aku adalah seorang penyintas virus mematikan itu.

Aku nggak pernah ngomongin tentang ini di manapun secara terbuka sebelumnya. Hanya sekedar cerita sama teman-teman dekat yang saat itu kebetulan lagi ngobrol bareng, atau menjawab mereka yang kebetulan bertanya. “Kamu udah pernah kena atau belum, Dis?”

Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku bisa membagi hal ini sama kalian. Pertama karena beberapa kenangan tentang saat itu, sebenarnya kalau diingat lagi agak bikin pilu. Alasan kedua karena memang belum ada waktu dan agak malas ngetik, hehe. Atau mungkin sebenarnya yang terakhir ini alasan utama ya XD

Anyways, a long story short, I was infected last January. Situasinya saat itu? Aku lagi hamil gede, HPL hanya tinggal menghitung hari. Aku nggak pernah keluar rumah, taat banget sama prokes, ke mana-mana aku selalu nggak lupa cuci tangan dan nggak pernah copot masker (kecuali lagi makan). Jadi, nggak tahu deh dapetnya dari mana.

Tapi di saat yang sama, ada sedikit inner-feeling yang bilang bahwa eventually aku pasti bakal kena juga karena kondisi rumahku itu memang high risk. Aku masih tinggal sama orangtuaku, dan ayahku adalah nakes yang praktek di klinik dan yang tiap hari nge-swab puluhan pasien per hari. Terus suamiku juga, kerja di kantor yang himbauan WFH itu hanyalah mitos belaka. Jadi di kala orang-orang kerja di rumah, dia tetap ke kantor. Toko aku di rumah juga masih tetap buka, meski udah dipasangin cover pemisah dan bolak-balik wanti-wanti ke asisten toko untuk selalu tegas sama para pelanggan untuk pakai masker. Tambahan lagi mbak-mbak yang suka nyetrika, ART, sama mas-mas yang datang seminggu 2x buat bantu suami ngurusin peliharaannya datang dan pergi keluar masuk rumah.

Aku tahu aku bakal ketularan, entah dari siapa dan kapan. Sooner or later pokoknya. Dan of course, sama sekali nggak pernah terpikir di kepalaku bahwa aku bakal kena virus itu pas lagi mau lahiran, apalagi sebagai pembawa ke keluarga.

Yang terjadi saat itu, tiba-tiba aja aku flu. Kupikir saat itu cuma flu biasa gara-gara habis makan es krim, yang mana adalah hal yang kerap kali terjadi tiap kali panas-panas makan es. Dan salah satu bawaan aku kalo hamil itu emang flu, dulu ya, cuma emang anehnya ini terjadi ketika hamil gede, bukannya di trimester pertama. Di kasusku sendiri, gejala yang aku alami cuma itu. Flu aja, tanpa batuk, sesak atau lain-lainnya. Sempat anosmia ringan, tapi cuma beberapa hari aja.

Dulu sempat aneh juga soalnya tiap kali minum jahe lemon terus habis gitu keringat keluar bercucuran seperti orang habis lari lima kilo, padahal itu habis mandi minumnya. Bahkan pas aku bilang ke suami, “Yang, kok aku nggak bisa bau makanan gini ya kalo agak jauh,” sama sekali nggak kepikiran bahwa itu COVID. Gara-garanya kalo sengaja diendus-endus gitu masih bisa cium aromanya. Pokoknya dulu selama masih bisa bau poop sendiri saat BAB berarti masih aman, hahahaha!

Selama flu itu aku pake masker terus di rumah, mencoba untuk mengurangi penularan flu ke anak-anak. Lepas beberapa kali ketika hidung sudah nggak berair lagi, dan ternyata di situlah titik kritisnya. Aku nularin ibuku, padahal selama flu aku sengaja menjauhkan diri dari beliau. Anakku yang kedua demam semalam, dikasih paracetamol besoknya langsung turun.

Lalu tiba-tiba beberapa hari kemudian she broke the news that my father was tested positive on Coronavirus. Jadi di klinik itu memang rutin swab antigen, dan setelah dites ternyata ayahku +. I was like, nggak bisa kebayang lagi deh. I cried on the spot, syok bukan main. Semua perasaan campur aduk, terlebih karena aku tahu ayah dan ibuku itu komorbid. Ibuku penderita asma berat yang sampai sekarang selalu kontrol tiap bulan dan nggak pernah lewat minum obat, sementara ayahku penyintas hepatitis C dan sirosis hati.

Kami sekeluarga langsung swab antigen, dan semua positif, kecuali suami. Bicara soal suami, dia emang wabiyasah sih. Orangnya disiplin banget kalau pake masker, selama di rumah hampir nggak pernah copot kalau pas lagi nggak makan. Dan sejak Maret tahun lalu ketika virus outbreak ini mencuat secara nasional, dia sengaja memisahkan diri kalau tidur di kamar lain. Misalnya pun dia tidur bareng anak-anak, masker pun nggak pernah copot semalaman.

Jadi satu-satunya orang yang negatif di rumah, of course semua orang menyarankan dia untuk keluar. But my husband is that type of a sentimenal person, ngeliat anak-anaknya nangis nggak mau ditinggal akhirnya dia memutuskan untuk nggak keluar rumah. Dan tentu aja, ketika kami swab PCR 2 hari kemudian, hasil yang keluar semua positif.

Ini belum apa-apa ya, ceritanya baru dimulai.

Ketika satu sisi kami lega bisa isoman bareng di rumah, di sisi lain perasaanku campur aduk nggak karuan karena HPL udah di ujung jari. Konsul sama Obsgyn, disarankan untuk SC. Tapi masalahnya bukan di situ. Waktu itu hari Kamis tanggal 21, dan situasi saat itu, ayah mulai tumbang. Beliau mulai nggak doyan makan dan ada perdarahan juga di lambungnya, jadi beliau harus segera diungsikan ke RS. Ibu? Ikut pergi juga menemani ayah.

Di hari yang sama, kontraksi mulai terasa. Flek darah keluar banyak. Aku yakin banget hari itu, atau segera aku bakal lahiran. Nggak kebayang gimana perasaan saat itu. Karena panik is not my nature, jadi cuma bisa nahan tangis aja supaya bisa tetap keliatan tegar di depan suami dan anak-anak. Yang bikin aku kepikiran saat itu karena saat itu udah deal sama OB untuk SC darurat malam itu juga (tadinya dijadwalin hari Jumat jam 5 sore, but I just knew that I wouldn’t make it that long). Udah kontak kepala puskesmas buat bantuan nyediain ambulans yang nganter ke rumah sakit, tapi masih kepikiran mereka yang ditinggal.

Rumah ini sudah di-lockdown total. Orangtua nggak ada, aku harus ke rumah sakit untuk melahirkan, cuma ada suami aja sendirian ngurusin dua anak balita yang luar biasa spesial. Dan dia nggak pernah expect aku harus dirawat lebih lama di rumah sakit, yang tadinya cuma 3 hari jadi panjang sampai seminggu karena ada pengentalan darah yang bikin aku harus terapi heparin selama 4 hari.

Suamiku ini orang kantoran. Tipe pekerja yang berangkat pagi dan pulang malam. Waktunya di rumah itu cuma Sabtu dan Minggu atau tanggal merah doank. Membayangkan dia berada di rumah buat ngurusin anak 2 dan semua kebutuhan mereka selama 24 jam, belum lagi harus menghadapi mood swing anak-anak yang nggak nentu, ditambah lagi dengan kerjaan rumah yang nggak ada habisnya. Well ….

Sebenarnya selama di rumah sakit aku nggak terlalu mikir soal bayi sih. Rasanya seperti mimpi aja ketika suatu malam perutku dibelah buat ngeluarin makhluk itu, habis gitu langsung dipisah aja tanpa dikasih lihat gimana bentukannya. Aku baru tahu gimana rupa jagoanku itu hari ke-2 setelah di-video call sama OB dan aku minta fotonya. Selama di ruang isolasi itu nggak ada rasa kangen pengen ketemu ketika meras susu, atau perasaan-perasaan lain layaknya ibu yang baru melahirkan ke bayinya. Kurasa itu mungkin karena kami memang nggak ketemu sekalian di awal, jadi rasa kepemilikanku nggak ada sama sekali. Selama di RS malah kangennya sama dua anak perempuanku yang di rumah.

Ayahnya sengaja nggak kasih mereka video call, karena kakak pertama lebih cengeng. Seperti ayahnya, hehe, dia cenderung lebih sensitif. Dan begitulah, sakit yang sesungguhnya saat itu adalah rasa sakit karena menahan rindu. Sakitnya nggak nyata, nggak bisa dielus-elus atau dipeluk. Cuma bisa ditahan sambil nangis aja.

Dari semua keadaan ini, aku masih bersyukur banget dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Teman-teman pengajian yang guyub banget untuk selalu memastikan suami dan anak-anak bisa makan 3x sehari dengan ngirimin makanan siap saji. Sahabat-sahabat yang selalu meluangkan waktu buat ngobrol di malam-malamku yang sepi. Orang-orang terdekat yang selalu memberi kekuatan, selalu mengingatkan aku bahwa aku nggak sendiri.

Aku dan keluarga sangat beruntung, dengan keadaan orangtua yang komorbid, alhamdulillah mereka bisa pulih dengan cepat tanpa komplikasi apapun. Kami semua bergejala ringan, suami sempat ngalami apa yang orang-orang sebut sebagai long-covid. PCRnya positif terus selama sebulan, kurasa dia stres karena seminggu jadi bapak sekaligus ibu rumah tangga di rumah. Tapi aku harap ini nggak bikin dia trauma, hehehe…. If we look at the bright side, di waktu seminggu itu adalah waktu intens dia untuk kenal lebih dalam gimana karakter anak-anaknya. Dia sebenarnya tipe family man banget, my kids love him so much. Cuma karena dia nggak pernah di rumah aja jadi bondingnya agak kurang. Dan sebulan ada dia di rumah, it strenghtens our bonds.

Seperti yang mereka bilang, what doesn’t kill you make you strong. Lepas dari isoman ini kami seperti terlahir kembali jadi orang-orang yang much stronger than ever. Dengan cara berpikir baru, orang-orang yang insyaa Allah lebih memahami apa artinya tawakal, berserah diri sama Allah. Dulu kami bisa aja bilang ke orang yang tertular COVID, bahwa “Dibikin happy aja, makan yang banyak, jangan mikir.” yang mana itu dulu cuma di bibir aja.

Gimana bisa nggak mikir kalo sekeluarga lagi positif? Gimana bisa makan yang banyak kalo kepikiran hari ini anak makan apa? Gimana bisa lahap makan kalo inget apa anak doyan makan atau enggak? Sumpah! Rasa seperti diingatkan oleh Allah, bahwa gitu loh rasanya orang yang dulu aku bilangin untuk happy aja. Untuk makan yang banyak dan nggak mikir. Semua itu omong kosong!

Tapi di saat yang sama, di situlah waktunya untuk berserah diri. Lillahi ta’ala. Aku titipkan anak dan suamiku kepada-Nya, kuat nggak kuat, kami harus kuat. Karena cuma itu aja yang bisa kami lakukan.

Dan alhamdulillah banget. Alhamdulillah banget pasca operasi aku nggak ngerasa nyeri-nyeri atau rasa sakit yang orang-orang sempat ceritakan ke aku. It was totally painless. Aku nggak merasa kesulitan untuk bisa miring kanan kiri, untuk duduk, atau bahkan untuk berdiri dan jalan. Meskipun itu aku lakukan sendiri tanpa bantuan siapapun, termasuk para perawat. Ya karena memang kondisinya nggak memungkinkan juga untuk para perawat bisa bolak-balik tiap saat, terutama karena di sana adalah ruang isolasi.

Alhamdulillah banget ada keluarga yang guyup. Ada ibu mertua, adik ipar dan suaminya yang ikhlas banget menyediakan waktu mereka, mengorbankan waktu mereka untuk berkumpul sama anak-anak mereka buat ngerawat bayi selama aku di rumah sakit. Aku nggak bisa ngasih apapun mereka kecuali doa, semoga Allah mengganti susah payah mereka dengan keberkahan dan kebaikan yang lebih banyak lagi.

Dan pastinya, alhamdulillah, buat suami yang udah kuat banget beralih fungsi. Meski sampai sekarang kalau lagi inget-inget masa itu dia selalu bilang pengen nangis, hahaha, semoga Allah selalu melindungi dia.

Tahun ini luar biasa. Kita semua diuji Allah dengan pasukannya yang tak kasat mata, dan kita, para manusia yang sombong ini, dibuatnya jungkir balik jumpalitan karenanya.

Jadi buat kamu yang nggak percaya adanya virus ini, atau yang masih berpikiran bahwa ini cuma konspirasi belaka en de bla en de bla, segera buka mata untuk mencari hidayah ya. Kita ini punya otak itu untuk berpikir, kita punya mata untuk membaca. Bukan baca pesan whatsapp penuh hoax yang udah di”forward many times”, tapi melihat pertanda yang terpampang nyata di segala arah.

Berhenti menyebar hoax, karena apa yang kamu bagikan akan kamu pertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Jangan juga mudah terbawa apa kata orang yang katanya dan katanya. Cari tahu dari sumber yang valid, jangan sampai ponsel kamu lebih smart dari kamu sendiri. Cerita aku ini adalah satu kisah kecil yang nggak ada apa-apanya dibanding mereka di luar sana yang endingnya lebih memilukan. Ratusan ribu orang kehilangan keluarganya. Banyak anak-anak yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Banyak orang yang menjadi sebatangkara karena COVID-19.

Jangan sepelekan. Segera vaksin ya, Guys. Ini adalah sumbangsih kecil kita untuk dunia yang besar ini. Semoga bumi kita cepat pulih.

حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.

Gimana kabar kalian hari ini? Semoga semuanya selalu sehat yaa.. Keep safe and happy!

xoxo

Dee.

August 5th, 2021.

Fenomena Curhat Online

Jadi ceritanya gara-gara status teman facebook ngomongin soal sesegrup yang isinya adalah curhatan para emak, aku yang kepo akut ini ikut gabung donk ke dalam grup itu. Yang berawal dari hanya sekedar ingin tahu, jadinya memunculkan berbagai macam emosi dalam diri ini ketika baca postingan mereka.

Cerita mereka variatif, diunggah oleh orang-orang dari berbagai kalangan dari emak yang anaknya udah kerja, emak yang anak-anaknya masih bayi sampai bahkan ada juga yang belum nikah ikut berbagi. Kisahnya pun beragam, ada yang sekedar upload foto hari ini mereka masak apa, selfie habis pakai produk kecantikan apa, masalah keluarga bahkan sampai ke masalah ranjang.

Ceritanya ada yang bikin ketawa, ada yang bikin simpati, sampai ada juga yang bikin gregetan. Ini yang aku pikir, kok bisa ya cerita macam gitu diunggah ke media sosial 😅.

Sebenarnya mengunggah apapun di ranah online itu nggak haram ya. Sejak dunia kita dikenalkan oleh teknologi bernama internet, orang bebas membagi apapun di sosial media mereka. Meski gitu, ini udah jadi semacam perjanjian tak tertulis bahwa ketika kamu berani posting sesuatu, berarti kamu juga berani menanggung resiko dari apa yang kamu tulis di situ. Itu termasuk bully-an orang dari orang-orang yang nggak cocok sama materi unggahannya.

Ini yang pengen aku bahas hari ini. Berada di grup curhatan itu nggak serta merta bikin aku berpikir harus berkomentar sesuatu di postingan orang. Aku pribadi nggak merasa punya hak apapun untuk berbicara; pertama, karena aku nggak kenal siapa mereka, yang kedua karena belum tentu komentarku bisa diterima dengan baik, sebagaimana niatku ketika menuliskannya. Mengomentari curhatan temen sendiri aja nggak berani apalagi orang yang nggak dikenal.

Tapi walau begitu aku masih pengen tetap membahas kasus-kasus yang ada sih. Tanpa langsung berbicara pada yang bersangkutan, aku tulis aja di sini kali aja di luar sana ada yang merasa senasib, hehehe…

Jadi tadi pagi sambil scroll down bacain postingan di grup itu, ada satu curhatan sesembak yang lagi bermasalah sama suami dan keluarganya. Konon ceritanya, dia upload status di whatsapp dan dikomentari sama suaminya. Selama ini dia upload status apapun nggak pernah dikomen, tapi sekalinya dia nyebut soal saudara si suami, ybs langsung komentar. Sama si mbaknya ini komentaran suaminya itu belum dibalas, karena dia tahu sekalinya balas mereka pasti bakal ribut. Dia sampai menyebut ‘sensitif banget suamiku kalau soal saudaranya’. Penasaran sama status apa yang dia unggah?

Apa yang ada di kepalamu kalau baca status di atas? 😅

Aku nggak habis pikir ya, tapi menurutku pribadi ya nggak heran juga kalau suaminya sampai komentar, lha wong yang disenggol adik kandungnya 😂. Dan sepertinya ini juga yang jadi alasan kenapa postingan itu dihapus (entah sama si TS atau admin), kurasa di kolom komentar lumayan ricuh orang membully sesembak yang tampak sedang mencari pembenaran ini.

Kadang aku berpikir, ketika seseorang membuka permasalahan hidupnya untuk dikomentari orang yang mereka nggak kenal, apa sebenarnya yang mereka cari? Di mana orang-orang terdekat mereka; kakak, adik, orangtua, pasangan hidup atau sahabat dekat yang setidaknya bersedia untuk duduk bersama dan mendengarkan keluh kesah hingga mereka mencari perhatian dan kenyamanan di dunia maya?

Terus yang jadi pertanyaan selanjutnya, ketika orang-orang sudah komentar, gimana cara dia menyelesaikan masalahnya melihat masukan orang-orang yang beragam? Apa komentar-komentar dan masukan-masukan itu relevan dengan permasalahannya ataukah mereka cukup puas hanya dengan mempublikasikannya dan membiarkan dunia tahu bahwa hidupnya bermasalah? Ini yang aku benar-benar ingin tahu.

Aku pribadi bukan orang yang suka cerita. Kalau mau berbagi, aku lebih suka cerita ke orang hal-hal yang baik dan menyembunyikan yang jelek untuk diri sendiri. Hidupku nggak sempurna, aku pun juga punya banyak masalah, tapi dengan membukanya ke orang lain itu nggak semudah itu. Ini bukan masalah pencitraan, aku cuma nggak suka cerita masalah pribadi karena itu adalah masalah yang harus kuselesaikan sendiri. Apapun keputusanku, itu adalah konsekuensi yang resikonya harus kutanggung sendiri. Jadi kalau nantinya buntutnya jelek, nggak ada orang yang disalahkan selain diri sendiri yang harus berintrospeksi.

Aku juga nggak suka ribut, jadi sebelum konflik terjadi aku cenderung untuk menjauhi pemicu konflik itu sendiri. Contoh konkret?

Misalnya sama suami, aku tahu dia pengen lemarinya selalu rapi dan baju selalu tersedia. Kadang namanya orang juga, aku suka mager masukin baju setrikaan ke dalam lemari dan itu bisa jadi ribut kalau tumpukkan sampai tinggi. Daripada ribut, kalau mager pokoknya baju dia dulu deh yang masuk lemari dan dirapiin, punyaku kapan-kapan kalau lagi rajin. Btw lemariku dan lemari dia terpisah, jadi gampang kalau mau masukin baju tinggal dipisah. Punya dia dirapiin sesuai denhan tempatnya, punyaku masuk seadanya aja yang penting kamar keliatan rapi. Padahal di balik pintu lemari itu ada tumpukkan baju yang belum rapi.😂

Bicara tentang konflik bersama keluarga suami, untuk beberapa orang memang nggak bisa dihindari. Alhamdulillah aku dapat keluarga baru dari suami itu baik banget. Saudara-saudaranya ramah dan pengertian, sampai kadang suka nggak enak sendiri karena aku nggak bisa kasih sebaik apa yang mereka kasih. Mereka yang tadinya orang asing, tapi bisa begitu dekat seperti saudara kandung saat ketemu dan ngobrol bareng.

Dan ini juga yang bikin aku berpikir bahwa inilah pentingnya ilmu beragama saat kita bermuamalah dengan keluarga suami.

Nggak perlu kejauhan deh ngebahas fiqih perempuan. Kembali ke dasar aja, adalah pemahaman yang menyeluruh tentang Rukun Iman.

Cukup satu Iman. Yang pertama. Saat kita memahami bahwa kita percaya penuh ada Allah, semuanya akan tetasa mudah. Saat kita percaya Allah akan memecahkan masalah kita, maka aku jauh dari rasa galau. Ketika aku mengimani bahwa Allah menjanjikan kehadiran-Nya di setiap waktu, aku nggak pernah marah terlalu lama ketika seseorang menyakiti aku.

Ini nggak hanya bicara tentang keluarga aja, tapi juga hubungannya sama orang-orang di luar rumah. Berbuat baik sama orang itu bukan hanya sekedar supaya disukai baik, tapi karena kalau aku baik, insyaa Allah keluargaku juga akan diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Ketika ada orang yang jahat mulut atau perilakunya, aku ‘yaudah’ aja. Ada Allah yang Maha Tahu, ada Allah yang Maha Memberi Pertolongan juga. Kalau pun perbuatan itu nggak terbalaskan di dunia, pasti bakal dibalas di akhirat.

Sesimpel itu sih, hingga kita mengimani hari Akhir dan percaya bahwa yang baik akan berakhir baik, dan yang jelek pun akan berakhir jelek juga. Apa yang kita tanam, kita juga yang akan memanennya. Pilihan kita aja mau jadi orang yang baik atau enggak. Pilihan kita juga apakah mau ngejaga mulut dan perilaku atau enggak.

Kesimpulannya, mengunggah apapun ke sosial media itu sah-sah aja sih, toh itu juga akun kita sendiri. Cuma untuk kemaslahatan diri sendiri, sebenarnya akan lebih bijaksana untuk nggak mengumbar aib sendiri di khalayak ramai. I mean, buat apa sih membuka kejelekan suami atau adik ipar atau ibu mertua atau anggota keluarga lainnya? Masalah nggak akan selesai, malah yang ada tambah gede dan panjang buntutnya. Belum lagi itungan dosa yang kita pikul karenanya.

Bismillah, kalau ada yang merasa disakiti, percaya bahwa doa orang yang terdzalimi itu makbul. Jangan ragu untuk berdoa dan meminta. Jangan ragu untuk bercerita pada keluarga terdekat dan meminta solusi dari orang yang netral dan nggak bias, biar nggak termakan hasut dan hasad.

Btw, tulisan ini nggak dibuat untuk memojokkan siapapun ya. It’s all fully from a penny of my thoughts. Feel free untuk berkomentar, dengan bahasa yang baik, kalau ada yang ingin kamu sampaikan. Healthy discussion will be very much appreciated.

See you on my next post.

Be happy, Everyone!

Regards,

Dee Wryn, yang lagi nulis sambil nungguin Aisha main Plants vs Zombies ❤️

Me Is Back!

Halo semuanya,

Nggak terasa entah udah berapa tahun ya, sejak terakhir kali blog ini terisi oleh postingan yang berfaedah. Hehehe… Entah kenapa, pagi ini tiba-tiba saja teringat punya kimchidee wordpress. Membuka lagi laman-laman lama, kemudian teringat masa-masa dulu saat lagi rajinnya menulis. Dan teringat yang dulu-dulu, tiba-tiba aja ingin menulis lagi dan berbagi sama yang mau baca apapun yang ditulis di sini.

Sebenarnya ide ini bukan sesuatu yang mak cebluk gitu munculnya. Aku sudah pengen banget nulis sesuatu sejak lama, tapi karena waktunya nggak belum bisa teralokasi dengan baik (baca : mager) jadinya semua itu hanya berhenti dalam sekedar niat aja.

Lama nggak nulis blog bikin diri ini jadi kagok juga. I mean, bahkan untuk menulis begini aja mikirnya lama banget. Ketik, hapus, ketik, hapus, lalu diulangi lagi sampai mules. Ya, seperti mesin yang ngga luwes kalau nggak dioliin, begitu juga dengan skill ini. Jadi mohon maklum, aku perlu sedikit waktu untuk bisa terbiasa lagi mengeluarkan unek-unek dan mengekspresikan ide menjadi tulisan tangan (komputer, iya, tau).

Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih niat untuk mengembalikan kebiasaan ini lagi seperti dulu. Blog ini bisa hidup lagi dengan cerita keseharianku sekarang, mudah-mudahan ada manfaatnya.

Nggak sabar banget nih, banyak banget sebenarnya yang pengen dibagi. Mari berdoa niat akan berbanding lurus dengan realisasinya, haha.

Kalau kamu adalah salah satu follower blog ini dan masih aktif, ayo kita sambung lagi persahabatan yang pernah kita punya dulu.

Dan yaa, seperti mas Lay yang setelah sekian purnama akhirnya kombek bareng EXO, I am now also back here. *smiley face*

Sampai ketemu di post selanjutnya yaaa…

Love,

Dee.

060821

Dear Neverdancedbefore.

Hi, guys.

Assalamualaykum…

Malam ini aku ingin menulis surat terbuka untuk para penulis blog neverdancedbefore, karena sepertinya surat semacam ini lagi tren ya, let’s say following one won’t hurt, hehehe…

Jadi, dimulai dengan kata, halo. *melambai cantik*

Aku Dista, dari saladbowldetrois.

Malam ini nggak sengaja terlantar di blog kalian, lalu membaca beberapa tulisan kalian, then I was… wowed. Kalian sangat berbakat. Tulisan kalian begitu menginspirasi, dan sejujurnya, kalian adalah generasi muda yang meyakinkan aku bahwa fiksi Indonesia masih punya harapan cerah. Yeah, seriously.

Aku sebenarnya pengen komen, atau meninggalkan jejak barang satu atau dua di blog kalian. Tapi kok tiba-tiba awkward gitu kalau aku komen banyak, padahal kenal juga enggak, hehehe… jadi untuk saat ini, post ini mungkin adalah apresiasi terbesarku untuk kalian. Insyaa Allah nantinya akan sering berkunjung ke blog kalian, karena yakin nantinya bakal ketagihan juga kalau perlu bacaan yang bagus dan berisi.

Kuharap kalian akan terus menulis yang bagus-bagus, yang baik-baik, jadi agen penyelamat moral bangsa dari tulisan kalian yang bermakna. Terus rendah hati, dan terus menginspirasi.

Aku tunggu terus fiksi terbaru kalian di saladbowl. ^^

.

Much love,

Dista Dee.

.

bagi yang ingin berkunjung dan menikmati fiksi-fiksi cantik dari 8 author muda berbakat,

klik

neverdancedbefore

they’re awesome.

[ONESHOT] Sabers War

iseng iseng baper ;p

saladbowldetrois

sekai

– distadee & Chocokailate –

.

.

.

“Kalau aku mati, apa kau akan menangisiku?”

Jongin hanya tersenyum ketika pertanyaan itu terdengar. Matanya berkejap, sekali dua kali, rasanya agak pahit setelah semalaman gagal melelapkan diri. Dia tidak salah dengar, dan meski Sehun kadang bisa jadi sedikit absurd, pertanyaan itu tetap terasa asing.

“Kau tidak akan mati.” Jongin menjawab singkat, ala kadarnya.

View original post 1,347 more words