Yes, seperti judulnya. Aku adalah seorang penyintas virus mematikan itu.
Aku nggak pernah ngomongin tentang ini di manapun secara terbuka sebelumnya. Hanya sekedar cerita sama teman-teman dekat yang saat itu kebetulan lagi ngobrol bareng, atau menjawab mereka yang kebetulan bertanya. “Kamu udah pernah kena atau belum, Dis?”
Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku bisa membagi hal ini sama kalian. Pertama karena beberapa kenangan tentang saat itu, sebenarnya kalau diingat lagi agak bikin pilu. Alasan kedua karena memang belum ada waktu dan agak malas ngetik, hehe. Atau mungkin sebenarnya yang terakhir ini alasan utama ya XD
Anyways, a long story short, I was infected last January. Situasinya saat itu? Aku lagi hamil gede, HPL hanya tinggal menghitung hari. Aku nggak pernah keluar rumah, taat banget sama prokes, ke mana-mana aku selalu nggak lupa cuci tangan dan nggak pernah copot masker (kecuali lagi makan). Jadi, nggak tahu deh dapetnya dari mana.
Tapi di saat yang sama, ada sedikit inner-feeling yang bilang bahwa eventually aku pasti bakal kena juga karena kondisi rumahku itu memang high risk. Aku masih tinggal sama orangtuaku, dan ayahku adalah nakes yang praktek di klinik dan yang tiap hari nge-swab puluhan pasien per hari. Terus suamiku juga, kerja di kantor yang himbauan WFH itu hanyalah mitos belaka. Jadi di kala orang-orang kerja di rumah, dia tetap ke kantor. Toko aku di rumah juga masih tetap buka, meski udah dipasangin cover pemisah dan bolak-balik wanti-wanti ke asisten toko untuk selalu tegas sama para pelanggan untuk pakai masker. Tambahan lagi mbak-mbak yang suka nyetrika, ART, sama mas-mas yang datang seminggu 2x buat bantu suami ngurusin peliharaannya datang dan pergi keluar masuk rumah.
Aku tahu aku bakal ketularan, entah dari siapa dan kapan. Sooner or later pokoknya. Dan of course, sama sekali nggak pernah terpikir di kepalaku bahwa aku bakal kena virus itu pas lagi mau lahiran, apalagi sebagai pembawa ke keluarga.
Yang terjadi saat itu, tiba-tiba aja aku flu. Kupikir saat itu cuma flu biasa gara-gara habis makan es krim, yang mana adalah hal yang kerap kali terjadi tiap kali panas-panas makan es. Dan salah satu bawaan aku kalo hamil itu emang flu, dulu ya, cuma emang anehnya ini terjadi ketika hamil gede, bukannya di trimester pertama. Di kasusku sendiri, gejala yang aku alami cuma itu. Flu aja, tanpa batuk, sesak atau lain-lainnya. Sempat anosmia ringan, tapi cuma beberapa hari aja.
Dulu sempat aneh juga soalnya tiap kali minum jahe lemon terus habis gitu keringat keluar bercucuran seperti orang habis lari lima kilo, padahal itu habis mandi minumnya. Bahkan pas aku bilang ke suami, “Yang, kok aku nggak bisa bau makanan gini ya kalo agak jauh,” sama sekali nggak kepikiran bahwa itu COVID. Gara-garanya kalo sengaja diendus-endus gitu masih bisa cium aromanya. Pokoknya dulu selama masih bisa bau poop sendiri saat BAB berarti masih aman, hahahaha!
Selama flu itu aku pake masker terus di rumah, mencoba untuk mengurangi penularan flu ke anak-anak. Lepas beberapa kali ketika hidung sudah nggak berair lagi, dan ternyata di situlah titik kritisnya. Aku nularin ibuku, padahal selama flu aku sengaja menjauhkan diri dari beliau. Anakku yang kedua demam semalam, dikasih paracetamol besoknya langsung turun.
Lalu tiba-tiba beberapa hari kemudian she broke the news that my father was tested positive on Coronavirus. Jadi di klinik itu memang rutin swab antigen, dan setelah dites ternyata ayahku +. I was like, nggak bisa kebayang lagi deh. I cried on the spot, syok bukan main. Semua perasaan campur aduk, terlebih karena aku tahu ayah dan ibuku itu komorbid. Ibuku penderita asma berat yang sampai sekarang selalu kontrol tiap bulan dan nggak pernah lewat minum obat, sementara ayahku penyintas hepatitis C dan sirosis hati.
Kami sekeluarga langsung swab antigen, dan semua positif, kecuali suami. Bicara soal suami, dia emang wabiyasah sih. Orangnya disiplin banget kalau pake masker, selama di rumah hampir nggak pernah copot kalau pas lagi nggak makan. Dan sejak Maret tahun lalu ketika virus outbreak ini mencuat secara nasional, dia sengaja memisahkan diri kalau tidur di kamar lain. Misalnya pun dia tidur bareng anak-anak, masker pun nggak pernah copot semalaman.
Jadi satu-satunya orang yang negatif di rumah, of course semua orang menyarankan dia untuk keluar. But my husband is that type of a sentimenal person, ngeliat anak-anaknya nangis nggak mau ditinggal akhirnya dia memutuskan untuk nggak keluar rumah. Dan tentu aja, ketika kami swab PCR 2 hari kemudian, hasil yang keluar semua positif.
Ini belum apa-apa ya, ceritanya baru dimulai.
Ketika satu sisi kami lega bisa isoman bareng di rumah, di sisi lain perasaanku campur aduk nggak karuan karena HPL udah di ujung jari. Konsul sama Obsgyn, disarankan untuk SC. Tapi masalahnya bukan di situ. Waktu itu hari Kamis tanggal 21, dan situasi saat itu, ayah mulai tumbang. Beliau mulai nggak doyan makan dan ada perdarahan juga di lambungnya, jadi beliau harus segera diungsikan ke RS. Ibu? Ikut pergi juga menemani ayah.
Di hari yang sama, kontraksi mulai terasa. Flek darah keluar banyak. Aku yakin banget hari itu, atau segera aku bakal lahiran. Nggak kebayang gimana perasaan saat itu. Karena panik is not my nature, jadi cuma bisa nahan tangis aja supaya bisa tetap keliatan tegar di depan suami dan anak-anak. Yang bikin aku kepikiran saat itu karena saat itu udah deal sama OB untuk SC darurat malam itu juga (tadinya dijadwalin hari Jumat jam 5 sore, but I just knew that I wouldn’t make it that long). Udah kontak kepala puskesmas buat bantuan nyediain ambulans yang nganter ke rumah sakit, tapi masih kepikiran mereka yang ditinggal.
Rumah ini sudah di-lockdown total. Orangtua nggak ada, aku harus ke rumah sakit untuk melahirkan, cuma ada suami aja sendirian ngurusin dua anak balita yang luar biasa spesial. Dan dia nggak pernah expect aku harus dirawat lebih lama di rumah sakit, yang tadinya cuma 3 hari jadi panjang sampai seminggu karena ada pengentalan darah yang bikin aku harus terapi heparin selama 4 hari.
Suamiku ini orang kantoran. Tipe pekerja yang berangkat pagi dan pulang malam. Waktunya di rumah itu cuma Sabtu dan Minggu atau tanggal merah doank. Membayangkan dia berada di rumah buat ngurusin anak 2 dan semua kebutuhan mereka selama 24 jam, belum lagi harus menghadapi mood swing anak-anak yang nggak nentu, ditambah lagi dengan kerjaan rumah yang nggak ada habisnya. Well ….
Sebenarnya selama di rumah sakit aku nggak terlalu mikir soal bayi sih. Rasanya seperti mimpi aja ketika suatu malam perutku dibelah buat ngeluarin makhluk itu, habis gitu langsung dipisah aja tanpa dikasih lihat gimana bentukannya. Aku baru tahu gimana rupa jagoanku itu hari ke-2 setelah di-video call sama OB dan aku minta fotonya. Selama di ruang isolasi itu nggak ada rasa kangen pengen ketemu ketika meras susu, atau perasaan-perasaan lain layaknya ibu yang baru melahirkan ke bayinya. Kurasa itu mungkin karena kami memang nggak ketemu sekalian di awal, jadi rasa kepemilikanku nggak ada sama sekali. Selama di RS malah kangennya sama dua anak perempuanku yang di rumah.
Ayahnya sengaja nggak kasih mereka video call, karena kakak pertama lebih cengeng. Seperti ayahnya, hehe, dia cenderung lebih sensitif. Dan begitulah, sakit yang sesungguhnya saat itu adalah rasa sakit karena menahan rindu. Sakitnya nggak nyata, nggak bisa dielus-elus atau dipeluk. Cuma bisa ditahan sambil nangis aja.
Dari semua keadaan ini, aku masih bersyukur banget dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Teman-teman pengajian yang guyub banget untuk selalu memastikan suami dan anak-anak bisa makan 3x sehari dengan ngirimin makanan siap saji. Sahabat-sahabat yang selalu meluangkan waktu buat ngobrol di malam-malamku yang sepi. Orang-orang terdekat yang selalu memberi kekuatan, selalu mengingatkan aku bahwa aku nggak sendiri.
Aku dan keluarga sangat beruntung, dengan keadaan orangtua yang komorbid, alhamdulillah mereka bisa pulih dengan cepat tanpa komplikasi apapun. Kami semua bergejala ringan, suami sempat ngalami apa yang orang-orang sebut sebagai long-covid. PCRnya positif terus selama sebulan, kurasa dia stres karena seminggu jadi bapak sekaligus ibu rumah tangga di rumah. Tapi aku harap ini nggak bikin dia trauma, hehehe…. If we look at the bright side, di waktu seminggu itu adalah waktu intens dia untuk kenal lebih dalam gimana karakter anak-anaknya. Dia sebenarnya tipe family man banget, my kids love him so much. Cuma karena dia nggak pernah di rumah aja jadi bondingnya agak kurang. Dan sebulan ada dia di rumah, it strenghtens our bonds.
Seperti yang mereka bilang, what doesn’t kill you make you strong. Lepas dari isoman ini kami seperti terlahir kembali jadi orang-orang yang much stronger than ever. Dengan cara berpikir baru, orang-orang yang insyaa Allah lebih memahami apa artinya tawakal, berserah diri sama Allah. Dulu kami bisa aja bilang ke orang yang tertular COVID, bahwa “Dibikin happy aja, makan yang banyak, jangan mikir.” yang mana itu dulu cuma di bibir aja.
Gimana bisa nggak mikir kalo sekeluarga lagi positif? Gimana bisa makan yang banyak kalo kepikiran hari ini anak makan apa? Gimana bisa lahap makan kalo inget apa anak doyan makan atau enggak? Sumpah! Rasa seperti diingatkan oleh Allah, bahwa gitu loh rasanya orang yang dulu aku bilangin untuk happy aja. Untuk makan yang banyak dan nggak mikir. Semua itu omong kosong!
Tapi di saat yang sama, di situlah waktunya untuk berserah diri. Lillahi ta’ala. Aku titipkan anak dan suamiku kepada-Nya, kuat nggak kuat, kami harus kuat. Karena cuma itu aja yang bisa kami lakukan.
Dan alhamdulillah banget. Alhamdulillah banget pasca operasi aku nggak ngerasa nyeri-nyeri atau rasa sakit yang orang-orang sempat ceritakan ke aku. It was totally painless. Aku nggak merasa kesulitan untuk bisa miring kanan kiri, untuk duduk, atau bahkan untuk berdiri dan jalan. Meskipun itu aku lakukan sendiri tanpa bantuan siapapun, termasuk para perawat. Ya karena memang kondisinya nggak memungkinkan juga untuk para perawat bisa bolak-balik tiap saat, terutama karena di sana adalah ruang isolasi.
Alhamdulillah banget ada keluarga yang guyup. Ada ibu mertua, adik ipar dan suaminya yang ikhlas banget menyediakan waktu mereka, mengorbankan waktu mereka untuk berkumpul sama anak-anak mereka buat ngerawat bayi selama aku di rumah sakit. Aku nggak bisa ngasih apapun mereka kecuali doa, semoga Allah mengganti susah payah mereka dengan keberkahan dan kebaikan yang lebih banyak lagi.
Dan pastinya, alhamdulillah, buat suami yang udah kuat banget beralih fungsi. Meski sampai sekarang kalau lagi inget-inget masa itu dia selalu bilang pengen nangis, hahaha, semoga Allah selalu melindungi dia.
Tahun ini luar biasa. Kita semua diuji Allah dengan pasukannya yang tak kasat mata, dan kita, para manusia yang sombong ini, dibuatnya jungkir balik jumpalitan karenanya.
Jadi buat kamu yang nggak percaya adanya virus ini, atau yang masih berpikiran bahwa ini cuma konspirasi belaka en de bla en de bla, segera buka mata untuk mencari hidayah ya. Kita ini punya otak itu untuk berpikir, kita punya mata untuk membaca. Bukan baca pesan whatsapp penuh hoax yang udah di”forward many times”, tapi melihat pertanda yang terpampang nyata di segala arah.
Berhenti menyebar hoax, karena apa yang kamu bagikan akan kamu pertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Jangan juga mudah terbawa apa kata orang yang katanya dan katanya. Cari tahu dari sumber yang valid, jangan sampai ponsel kamu lebih smart dari kamu sendiri. Cerita aku ini adalah satu kisah kecil yang nggak ada apa-apanya dibanding mereka di luar sana yang endingnya lebih memilukan. Ratusan ribu orang kehilangan keluarganya. Banyak anak-anak yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Banyak orang yang menjadi sebatangkara karena COVID-19.
Jangan sepelekan. Segera vaksin ya, Guys. Ini adalah sumbangsih kecil kita untuk dunia yang besar ini. Semoga bumi kita cepat pulih.
حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ
“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.
Gimana kabar kalian hari ini? Semoga semuanya selalu sehat yaa.. Keep safe and happy!
xoxo
Dee.
August 5th, 2021.